Aku nggak mau sekolah….pokoknya enggaaaaak !!! hari ini aku mau ikut Mama
ke kantor aja..!
Perutku sakit, Maaaa….aku nggak enak badan…jadi hari ini aku boleh nggak
usah masuk sekolah, yaaaa..!
Adek mau main di rumah saja, Ma….please…..Adek takut sama Bu Guru…soalnya
Bu Guru galak sekali, Adek takut dimarahi sama Bu Guru…..boleh ya Ma….boleh
ya…..
Pokoknya aku nggak mau ke sekolah…aku nggak suka sekolah….aku mau di
rumah ajaaaa !!
Kalimat-kalimat diatas mungkin tidak asing di telinga kita ketika
menghadapi anak yang tiba-tiba mogok sekolah. Beberapa alasan tersebut memang
seringkali dikemukakan oleh anak-anak ketika mereka tidak ingin pergi ke
sekolah. Tidak jarang orangtua hanya bisa terdiam dan termenung
bahkan bingung ketika mendengar kata-kata tersebut diucapkan oleh anak
tercintanya.
Banyak orangtua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang
tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari sakit
perut, sakit kepala, sakit kaki dan seribu alasan lainnya. Bagi orangtua
yang anaknya masih kecil, pemogokkan ini tentu bikin pusing karena menimbulkan
kebingungan apakah alasan tersebut benar atau hanya dibuat-buat. Orangtua
menjadi bingung: memaksa anak untuk tetap berangkat sekolah takut nanti anaknya
menjadi stress; atau kalau ternyata benar apa yang dikemukakan anak,
lantas bagaimana harus bersikap? Sementara itu problem yang hampir sama dialami
orangtua yang bingung menghadapi penolakan anaknya yang sudah waktunya
bersekolah tapi masih saja belum mau masuk sekolah.
Menghadapi kenyataan
dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali
pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada di pundak mereka sehingga tidak
terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan mental anak
di masa yang akan datang. Dalam artikel ini saya mencoba untuk mengulas apa
yang dimaksud dengan fobia sekolah (mogok atau tidak mau ke sekolah), apa
faktor penyebabnya dan bagaimana orangtua harus menyiasati kondisi ini.
Apakah Fobia Sekolah?
Fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang
biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau pun
hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat, atau hari Minggu / libur. Fobia
sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14-15
tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan
baru atau pun ketika ia menghadapai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di
sekolahnya.
Tingkatan
dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah
Para ahli menunjuk adanya beberapa tingkatan school refusal, mulai
dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu :
1. Initial school refusal behavior
adalah sikap menolak sekolah yang
berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir
dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.
2. Substantial school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang berlangsung
selama minimal 2 minggu.
3. Acute school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2
minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak
berangkat sekolah
4. Chronic school refusal behavior
adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari
setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.
Tanda-tanda
Fobia Sekolah
Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria fobia sekolah atau
pun school refusal, yaitu:
· Menolak untuk
berangkat ke sekolah.
· Mau datang ke
sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang
· Pergi ke sekolah
dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau
menunjukkan “tantrum”-nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap
anak lainnya (memukul, menggigit, dsb) atau pun menunjukkan sikap-sikap
melawan/menentang gurunya.
· Menunjukkan
ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar
diijinkan pulang – dan ini berlangsung selama periode tertentu.
· Tidak masuk
sekolah selama beberapa hari.
· Keluhan fisik
yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual,
muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya.
Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal
di rumah.
· Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah
berangkat ke sekolah.
Waktu
Berlangsungnya Fobia Sekolah
Berapa lama waktu berlangsungnya fobia sekolah amat tergantung pada
penanganan yang dilakukan oleh orangtua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk
sekolah (tidak mendapat penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai
dan makin sering / intens keluhan yang dilontarkan anak. Namun, makin cepat
ditangani, problem biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1
atau 2 minggu.
Faktor Penyebab
Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah.
orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan
itu, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya,
jika orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua
kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing
dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan
konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai
keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri – adalah metode yang tepat
untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah
untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri
sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia
sekolah dan school refusal :
1. Separation
Anxiety
Separation anxiety
pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18 – 24 bulan).
Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun
(preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety.
Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup
lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun
mainannya – tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan
tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.
Separation anxiety
bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan
akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua – singkat kata, tidak ada masalah
dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada
anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat
sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya.
Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau
mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan
itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada
anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah
dari orangtua dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan
kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan ini lah yang
sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan
kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar
dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis.
Separation anxiety
bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami
sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang.
Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua
dengan anak tentu saja lebih tinggi dari pada ketika masa sekolah. Situasi
demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah tiba,
anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan takut.
Namun, dengan berjalannya waktu, anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat
perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah.
Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah,
berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang
memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi.
Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada
anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan),
rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya, sikap
orangtua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan
rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan,
dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut kalau-kalau
anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan
lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat
dari orangtua. Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu
tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak
mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat
pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu
dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman
“abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan
kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya,
keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit
bertumbuh menjadi individu yang dewasa.
2. Pengalaman
Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu
setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di
sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus,
hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Di samping itu,
persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat
anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau,
ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman
karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke
sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut
menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan,
takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi.
Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan
stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah,
dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan.
Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena
mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan
memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua
karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya
orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter
atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang
tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan,
keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di
atas
3. Problem
Dalam Keluarga
Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami
oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering
mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya,
tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak
merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan
ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota
keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi
ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit
ketika ia tidak ada di rumah.
Penanganan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah
fobia sekolah atau pun school refusal.
1. Tetap
menekankan pentingnya bersekolah
Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk
anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap
bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in
school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara
menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan untuk mau
tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat
mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin
berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan
makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin
intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah,
anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri
dengan teman-temannya.
Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua, untuk
menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari
orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak akan mengulang pola yang
sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana
sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.
2. Berusahalah
untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum
atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah.
Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan
kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini
tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa
berlari-lari keliling rumah atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat
mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok – maka sebaiknya orangtua tidak melayani
sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting
untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat
ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya
mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri
kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya.
Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar
keinginannya terlaksana.
Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah – kalau perlu
ditemani/ diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta
pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk
menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit,
menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya,
orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah
baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang; dan sesudah itu
bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara
satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan
mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam
menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid
lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru
membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.
3. Konsultasikan
masalah kesehatan anak pada dokter
Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter
untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak.
orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan
sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak
mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb), orangtua dapat
membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap
dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua
memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress
terhadap sekolah, atau kah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama
4. Bekerjasama
dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah
Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun
school refusal (terutama guru-guru preschool hingga TK).
Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau
menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang.
Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant untuk
menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak
anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih
besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang
bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok
untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan
yang dihadapi – yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu,
berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya
diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami
situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.
5. Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak
6. Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat
mendiskusikan apa yang membuat anak takut, emas atau enggan pergi ke sekolah.
Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini
hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak
bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi
dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika
masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi
diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.
Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak
gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak
dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari
problem, karena anak akan makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya
diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri.
7. Lepaskan anak secara bertahap
Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak,
terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan
tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak
menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus
seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru-nya. Pada beberapa sekolah, orangtua/pengasuh
diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu
yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya
pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan
bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan
penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan
tampak “happy” dengan teman-temannya – maka sudah waktunya bagi
orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua
untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa
percaya diri pada anak dan kemandirian.
8. Konsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi
berlarut-larut
Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang
panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani
secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai
mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan
penyesuaian diri yang serius – maka secepat mungkin persoalan ini segera
dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang
mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak
terpikirkan oleh keluarga – namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri
(misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya). Untuk
itulah konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari
pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua
pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya
sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak.
Jadi, persoalan mogok sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius
(kecuali ada masalah kesehatan serius). Namun jika dibiarkan berlarut-larut
dapat benar-benar menjadi masalah serius. Semoga
berguna